Pertanyaan ini mengisyaratkan suatu kekhawatiran. Sebab, di balik kemajuan-kemajuan yang dibawa oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, ada sisi buram yang banyak memperoleh sorotan kritis. Modernisasi yang diklaim membawa kemajuan itu rupanya juga membawa serta dampak-dampak negatif berupa miskinnya nilai kehidupan rohani, tercerabutnya budaya-budaya lokal, dan degradasi moral yang melanda santri dan generasi muda secara luas.
Di sinilah titik yang dikhawatirkan pesantren, yakni adanya dekadensi moral yang mulai masuk ke ranah pesantren, dan perlahan mengikisnya dari dalam melalui kian latahnya santri pada segala yang datang dari kemodernan tanpa sikap kritis-selektif.
Respon Pesantren
Tak mudah menyikapi kehadiran modernisasi ini. Pesantren nampak gagap dalam mengambil sikap. Di satu sisi pesantren tidak boleh diam. Tapi juga pesantren tidak boleh terburu-buru. Di sini, pesantren dituntut untuk mampu menyikapi situasi ini dengan bijaksana. Modernisasi jelas membawa aspek positif, yakni hadirnya pola pikir rasional dan kemajuan teknologi. Bila respon pesantren pada modernisasi adalah mengambil jarak, bersikap defensif, atau mengeklusi dirinya dari semua hal yang datang dari kemajuan modernisasi, maka pesantren bisa terjebak pada ketertinggalan.
Dampaknya bisa terlihat pada SDM santri yang berpotensi jauh tertinggal dari SDM-SDM yang lain, gagap pada teknologi, tidak memiliki daya kompetitif, dan kegagapan lainnya menghadapi modernisasi. Tentu saja petaka ketertinggalan ini tak kita harapkan muncul sebagai akibat sikap defensif atau eksklusi pesantren dari modernisasi. Dalam hal ini, pesantren harus mampu menerapkan prinsip: al-muhafadzah alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah. Yakni melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik.
Dalam hal ini, apa yang diyakini pesantren dari nilai-nilai lama yang dianggap baik, tentu harus dipertahankan. Misalnya, nilai-nilai agama, moral, dan aspek kerohanian yang lain. Sementara nilai-nilai baru yang dihadirkan oleh kemajuan modernisasi, patut juga diambil. Singkatnya, pesantren harus pandai menyaring nilai-nilai dan kemajuan yang dibawa oleh modernisasi.
Peran Pesantren
Pesantren memiliki potensi besar untuk ikut mendukung penguatan agama dan akhlak generasi bangsa (Steenbrink, 1986; 44). Pesantren memiliki dua peran sekaligus, yakni pengembangan pendidikan dan peran pemberdayaan masyarakat (Zuhri, 1999;13).
Pertama, sebagai pengembangan pendidikan (agama) dapat dilihat dari tujuan utama pesantren, yaitu menyebarluaskan ajaran dan universalitas agama Islam. Nurcholish Madjid (1997: 19) menyatakan tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam merupakan weltanschauung yang bersifat menyeluruh. Islam bukan sekedar agama yang bersifat vertical, yakni soal-soal hubungan manusia dengan Tuhannya. Islam merupakan agama yang berdimensi horizontal, di mana banyak aturan-aturan yang menyangkut kehidupan diri dan bersama. Islam adalah juga mencakup cara hidup. Sebab itu, tugas pendidikan pesantren adalah menguatkan kesadaran ini. Bahwa ajaran islam hendaknya mewujud dalam seluruh perilaku kehidupan kita sehari-hari.
Kedua, tugas pesantren adalah memberdayakan (empowering) masyarakat. Sebab itu, pesantren selalu diharapkan untuk mampu melahirkan santri-santri yang mampu merespon tantangan kehidupan, dapat diandalkan untuk terjun di masyarakat, menjadi pencerah di tengah-tengah masyarakat baik pencerahan ilmu agama maupun ilmu pengetahuan secara umum. Konskuensinya, pesantren harus merancang pendidikan yang di satu berorientasi pada penguatan aspek-aspek keagamaan, tapi di sisi lain berorientasi untuk peningkatan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Dalam konteks ini, ada beberapa fungsi yang perlu dihidupkan pesantren dewasa ini: 1) pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) dan nilai-nilai Islam (Islamic values); 2) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial; dan 3) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering) atau perkembangan masyarakat (community development). Semua itu, hanya bisa dilakukan jika pesantren mampu melakukan proses perawatan tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik.
Pesantren Harapan Masyarakat
Fungsi pengabdian pesantren dalam upaya memberdayakan masyarakat (terutama di sekitarnya) tak lain merupakan bagian yang muncul dan melekat secara historis. Bila ditilik muasalnya, pesantren didirikan demi tujuan menjawab tantangan masyarakat. Mulanya untuk mengatasi suramnya kehidupan melalui cahaya terang ilmu pengetahuan. Sebab itu, masyarakat mendukung kehadiran pesantren dengan harapan mereka dapat memperoleh sentuhan ilmu.
Seiring waktu, meskipun pesantren telah tumbuh semakin mandiri, tapi hal itu tak menutup ingatan sejarah itu. Dibuktikan dengan semangat yang masih terus melekat pada diri pesantren untuk bisa berperan aktif dan berkontribusi bagi kebaikan masyarakat. Pesantren adalah bagian dari masyarakat. Ia terikat dengan masyarakat di sekitarnya.
Salah satu wujud pengabdian pesantren kepada masyarakat bisa dilihat dari produk-produk pesantren (para santri) yang mulai menyebar ke masyarakat. Mereka turut serta menyebarkan ajaran-ajaran yang diperolehnya dari pesantren. Bahkan tak jarang, santri-santri ini justru mendirikan pesantren-pesantren baru. Sehingga dalam proses ini, pesantren-pesantren baru terus bermunculan dengan diasuh oleh santri-santri yang sudah memperoleh kematangan dalam ilmu pengetahuan terutama di bidang pengetahuan agama.
Dengan semakin tumbuhnya pesantren, maka masyarakat semakin besar memperoleh ilmu keagamaan dan ilmu pengetahuan secara umum. Semangat yang diusung oleh pesantren adalah kesederhanaan dan sebab itu, masyarakat – tanpa tebang pilih kaya atau miskin – bisa sama-sama merasakan hadrinya pesantren.
Pernah dimuat di : https://www.rontal.id/2020/11/modernisasi-pesantren-dan-pengabdian.html
0 Comments:
Posting Komentar