Tersesat di Jalan yang Benar

Kegalauan sikap mahasiswa modernis saat ini seolah “tersesat di jalan yang benar”, stigma masyarakat bahwa mahasiswa dianggap sebagai barisan akademisi dan barisan kaum intelektual, namun ketika terjadi ketidakberdayaan intelektual dan kemiskinan moral mereka karena terhipnotis oleh godaan dan tawaran “permin” di era modern ini, akhirnya kepercayaan masyarakat ternodai atau shifting paradigm.
Sejenak kita beromantisme dengan sejarah, mengingat syahwat perjuangan yang digenggam di tangan kepemimpinan aksi dan reaksi mahasiswa di era lampau telah mampu mewarnai perjalanan dan perjuangan bangsa ini. Dan harus diakui, campur tangan mahasiswa mampu mengantarkan dan melahirkan perubahan. Ingat angaktan 1908, 1928, 1945, 1966, 1998, disitulah kaum muda/mahasiswa Indonesia adalah tahun-tahun yang bergairah dalam rangka turun bersama bergerak bersama “kekuatan moral” dan menyuarakan terkait polemik sosial, politik maupun sektor-sektor rakyat beserta perubahannya. Bagaimanapun gerakan yang dipimpin mahasiswa adalah salah satu faktor yang turut berperan dalam mengakhiri kekuasaan dan kediktatoran rejim orde baru 21 Mei 1998 yang akhirnya melahirkan era reformasi.

Mahasiswa “sakit”
Musuh terbesar manusia adalah keraguan dan ketakutan. Kemandulan intelektual dan moral mahasiswa yang terus dipelihara dirahim status ke-mahasiswa-annya, sering terjangkit penyakit mental seperti sikap apatis, spoiled-lazy, pasrah nasib, konsumtif yang mengandalkan beasiswa ayah-bunda foundation, hedonis, dan mudah bad mod sehingga mudah galau (hipokondria). Sering terserang penyakit “sakitnya tuh disni”, bahkan sakitnya tuh dimana-mana”, hehehe (tren sekarang). Di era globalisasi-modernis ini sebagian mahasiswa mudah tereksploitasi oleh dunia cyber yang terlena ber jam-jam melototi layar android, smartphone, laptop dan lainnya demi FB-an, BBM-an, atau medsos lainnya yang tak begitu bermakna sehingga impotensitas etos belajar, dan reading habit melemah.
Masyarakat menganggap mahasiswa sebagai barisan kaum intelektual akademisi yang dipercaya mampu mengantarkan perubahan dan pencerahan bagi keterbelakangan yang dialami masyarakat. Namun sekarang mahasiswa dianggap sebagai barisan jahiliah di dalam modernitas, sebab mereka dianggap pintar di dalam pikiran tapi bodoh dalam tindakannya.   
Setiap individu adalah pemimpin, memimpin dan mengarahkan kehendaknya sendiri kepada jalan yang shaleh dan produktifitas. Dengan upaya menghidarkan diri dari dosa-dosa, yaitu; (1) dosa individual, dimana ketika seseorang meninggalkan tanggung jawab dan kewajiban pribadinya yang memang sudah menjadi kodratnya, seperti tidak belajar, kewajiban shalat, puasa, zakat dan mendlalimi dirinya sendiri. (2) dosa sosial, ketika seseorang dalam tindakannya merugikan dan mengganggu pihak-pihak lain atau masyarakat. (3) dosa struktural, ketika seseorang diberikan tanggung jawab atau amanah dalam menduduki jabatan struktural, kemudian ia mengabaikan tanggung jawab serta tugas-tugasnya, seperti pemimpin tidak menjalankan roda kepemimpinan atau kepengurusannya. dan (4) dosa fungsional, dimana seseorang meninggalkan fungsi statusnya yang telah dimilikinya, seperti seorang mahasiswa mengkhianati tugas-tugas serta kewajibannya sebagai mahasiswa yang semestinya.

Tanggung Jawab Mahasiswa
Mengingat peran vital dan tanggung jawab yang diemban mahasiswa, maka perlu adanya proses pembelajaran dan kaderisasi dalam dunia kemahasiswaan, yaitu dengan membentuk karakter-karakter mahasiswa yang bertanggungjawab, pribadi progresif, kreatif, inovatif dan professional serta proporsional, sebagai human resources investment (tabungan SDM) yang akan menerima tongkat kepemimpinan dimasa yang akan datang.
Mahasiswa, secara etimologis berarti siswa yang di-maha-kan, siswa yang dihormati dan dihargai di lingkungan sekitar terutama lingkungan berbangsa bernegara. Bukan hanya itu, melainkan ada yang lebih substansial lagi, mahasiswa dalam menjalankan aktifitasnya dituntut untuk mandiri, kreatif, dan idependen yang tidak hanya berkewajiban belajar di dalam dinding kelas, ia harus mampu keluar mencari “alternative lain” dalam rangka untuk mengembangkan diri (self development) maupun social development.
Melihat potensi mahasiswa yang begitu besar, tidak sepantasnyalah peran mahasiswa yang hanya mementingkan kebutuhan pribadi saja. Melainkan harus tetap berkontribusi terhadap bangsa dan negaranya. Seperti yang telah dituliskan di atas, mahasiswa bukan menjadi siswa yang tanggung jawabnya hanya belajar dalam dinding kelas, mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat, justeru sebagai creator of change, agent of change, social control, iron stock, dan moral force.
“Sebagai kekuatan moral dan hati nurani bangsa, mahasiswa telah membuktikan sejak dulu kala selalu berada dibarisan depan tatkala sebuah penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan terjadi. Mahasiswa, saya rasa merupakan salah satu guardian terpenting dari moralitas bangsa” (Akbar Tandjung).
Dengan jumlah yang besar, pemuda atau mahasiswa di satu sisi bisa merupakan potensi yang besar bagi pembangunan Indonesia  sekarang dan ke depan. Mereka merupakan aset bangsa dan nasional yang potensial, sebagai kader pemimpin, pelopor, sekaligus motor pembangunan yang kreatif dan produktif. Namun sebaliknya, jumlahya penduduk usia muda tersebut hanya akan menjadi beban dan sampah negara, apabila tidak disertai dengan tingginya kualitas dan kemampuan serta keterampilan hidup mereka.
Tiap tahunnya berbagai kampus di Nusantara ini terus melahirkan ratusan ribu para sarjana yang diluluskan, yang semakin derasnya kompetitor-kompetior yang lahir dipermukaan Negeri ini, sehingga persaingan semakin memanas dalam rangka merampas panggung-panggung profesi hidup mereka. Maka sangat diperlukan membakar api semangat bagi kaum muda dan mahasiswa untuk menjadi pribadi yang progresif bukan menjadi pribadi yang regresif. Apalagi era globalisasi kapitalistik di bidang ekonomi saat ini telah memaksa beberapa negara untuk melakukan perjanjian free trade lintas negara. Perdagangan bebas adalah suatu situasi di mana arus lalu-lintas barang, jasa, dan manusia dari dan ke suatu negara di dunia ini tidak mengalami hambatan yang berarti.  Kita sebagai khalifah di negeri ini yang memiliki wilayah tempat tinggal, ketika bersinggungan dengan antar bangsa, ketika mereka bebas berjualan produk, budaya, dan life style mereka di kawasan kita, siapkah kita menjadi tuan rumah di rumah sendiri atau justeru hanya menjadi pelayan yang tunduk pada mereka di Negara sendiri.

Wallahu a’lam bisshawab!

0 Comments:

Posting Komentar